Buku Sejarah Gelap Raja dan Ratu Eropa ini menawarkan potret menakjubkan dari sisi gelap monarki Eropa dimana terdapat kisah-kisah penuh skandal, misteri, dan tipuan. Buku ini mengupas semua kemewahan itu untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam koridor istana, kamar tidur, dan penjara-penjara bawah tanah dari kerajaan-kerajaan di Eropa sejak awal abad pertengahan hingga masa kini. Saya akan membahas ringkasan buku ini per bab, yang pertama (bab 1) yaitu sejarah gelap Raja Philip IV dari Prancis dan para ksatria Templar. Philip IV yang dijuluki si kuning langsat, menjadi Raja Prancis pada tahun 1285, ia memberikan tuduhan-tuduhan yang sepenuhnya direkayasa yang sudah dirancang untuk musuh bebuyutan nya Sang pemimpin besar Jacques de Molai yaitu dakwaan-dakwaan yang mencakup penyangkalan terhadap kristus dan para muridnya, penghujatan, serta praktik-praktik sodomi dan homoseksual yang dikatakan merupakan hal yang lazim di dalam ordo yang lebih dikenal dengan nama Para Ksatria Templar. De Molai yang saat itu sudah berusia 7 tahun yang pada masa itu sudah dianggap sebagai usia tua yang ekstrem. Ia merasa sangat malu karena mengaku melakukan sejumlah tuduhan yang diberikan kepadanya akibat ketakutan akan penderitaan yang disebabkan oleh siksaan dan kematian dengan dibakar di tiang sula. Namun kali ini ia menemukan keberanian laten dan, meskipun paham akan konsekuensi-konsekuensinya, ia memutuskan untuk menarik kembali pengakuannya. Beberapa jam setelah sang pemimpin besar menarik pengakuannya, ia dan de Charnay dibawa ke Ile-des-javaux, sebuah pulau kecil di sungai Seine yang terletak antara taman-taman kerajaan dan biara Saint-Augustin. Kedua pria ini diikat pada tiang sula, kayu-kayu yang ditumpuk dibawah mereka dinyalakan dan mereka dibakar sampai mati.
Wir verwenden Cookies und Daten, um
Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um
Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.
Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.
Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.
Permainan kamar gelap (Inggris: escape room, dikenal juga sebagai escape game, puzzle room, atau exit game) adalah permainan kelompok yang dimainkan dengan mencari petunjuk, memecahkan teka-teki, dan menyelesaikan tugas dalam satu atau banyak kamar untuk meraih tujuan tertentu dalam waktu terbatas.[1][2] Tujuan permainan ini seringnya adalah mencari jalan keluar dari area permainan. Sebagian besar permainan kamar gelap dimainkan secara kooperatif, tetapi ada pula yang kompetitif.[3] Permainan ini menjadi populer di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur pada 2010-an. Wahana permainan kamar gelap yang dipasang permanen pada lokasi tetap dibuka kali pertama dibuka di Asia[4] yang kemudian disusul oleh Hungaria, Serbia, Australia, Selandia Baru, Rusia, dan Amerika Selatan.[5]
Permainan kamar gelap mengambil inspirasi dari gim video bergenre escape-the-room[6] yang mengharuskan karakternya kabur dari kamar yang terkunci.
Terlepas dari namanya, tidak menutup kemungkinan bahwa kabur dari kamar bukan menjadi tujuan utama bagi para pemain dan permainan ini tidak mesti terbatas pada satu kamar saja.[7]
Peserta wahana umumnya bermain secara kooperatif dengan tim yang beranggotakan 2 hingga 10 pemain.[8] Permainan kamar gelap disiapkan dengan beragam latar fiktif, seperti sel bui, penjara bawah tanah, dan stasiun antariksa. Tujuan dan tantangan pemain biasanya selaras dengan tema kamar wahana.[9]
Permainan diawali dengan pengenalan singkat mengenai aturan main dan cara untuk menang. Pengenalan bisa diberikan dalam bentuk video, audio, atau oleh moderator secara langsung.[10]
Pemain memasuki kamar atau area permainan dan saat itu pula penghitungan waktu dimulai. Untuk menyelesaikan permainan, pemain memiliki batas waktu yang umumnya sepanjang 45 hingga 60 menit. Selama permainan berlangsung, pemain menjelajahi kamar, mencari petunjuk, dan memecahkan teka-teki supaya mereka terus berprogres dalam permainan tersebut. Beberapa wahana kamar gelap, utamanya yang bertemakan horor, dapat mengharuskan pemain untuk lepas dari belenggu seperti borgol atau ikat kabel.[1] Tantangan yang diberikan umumnya lebih mengandalkan otak ketimbang otot dan pemain tidak harus fit atau cekatan untuk menyelesaikannya.[11] Berbagai kemampuan diperlukan untuk memecahkan sejumlah teka-teki tertentu, mulai dari kimia, matematika, geografi, dan pemahaman dasar ilmu pengetahuan lainnya. Teka-teki yang dirancang dengan baik tidak mengharuskan pemain untuk mempunyai pengetahuan ahli dalam bidang tertentu. Informasi khusus atau yang tidak banyak diketahui pemain harus bisa diperoleh dalam kamar tempat teka-teki itu berada.
Apabila pemain tersendat, mereka dapat menggunakan suatu mekanisme yang terpasang di dalam kamar untuk meminta petunjuk. Petunjuk tersebut bisa diberikan dalam bentuk tulisan, video, audio, atau oleh moderator secara langsung atau aktor yang ada di dalam kamar.[12]
Pemain “gagal” dalam permainan jika mereka tidak dapat menyelesaikan semua teka-teki dalam batas waktu yang ditentukan. Akan tetapi, sebagian besar operator wahana permainan berusaha memastikan pelanggan mereka terhibur meskipun tidak menang.[13] Pemain bisa diberikan pengalaman yang berbeda tergantung kesuksesan dan kekalahan mereka dalam bentuk “akhiran baik “ dan “akhiran buruk” di dalam kamar. Akhiran baik biasanya dicitrakan dengan pemain kabur “hidup-hidup” sebelum waktu habis, menyelesaikan tujuan kamar, atau menghentikan ancaman atau antagonis cerita wahana tersebut. Di sisi lain, akhiran buruk dicitrakan dengan pemain “terbunuh” oleh penggerak utama cerita atau seorang penjahat di dalam kamar menangkap pemain setelah waktu habis. Beberapa wahana membolehkan pemain mendapat waktu tambahan atau tuntunan kilat dalam menyelesaikan teka-teki yang tersisa.
Kadang-kadang, tim yang menyelesaikan permainan dalam waktu cepat ditempatkan pada papan peringkat.
Permainan kamar gelap menguji kemampuan pemain dalam memecahkan masalah, berpikir lateral (“berpikir di luar kotak”), dan bekerja sama dengan menyodorkan bermacam-macam teka-teki dan tantangan yang membuka akses sejumlah benda atau area baru ketika dipecahkan.[14]
Teka-teki tersebut meliputi permainan kata, permainan angka, dan “menyusun objek untuk membentuk pola”[15], seperti sandi substitusi, tebak-tebakan, teka-teki silang, Sudoku, pencarian kata, dan matematika. Teka-teki yang melibatkan benda antara lain jigsaw puzzle, permainan korek api, dan catur. Sementara itu, teka-teki yang melibatkan aktivitas fisik antara lain mencari benda tersembunyi, merakit benda, menyusuri labirin, atau melepas ikatan tali.[16][17]
Wahana-wahana dengan unsur yang menyerupai wahana permainan kamar gelap dapat dianggap sebagai pendahulu, seperti rumah hantu, permainan berburu, pusat hiburan 5 Wits, atau teater interaktif (misalnya Sleep No More, yang diluncurkan tahun 2003).[18]
Selama bertahun-tahun, format kamar atau area wahana yang memuat teka-teki atau tantangan telah ditayangkan dalam berbagai acara permainan, seperti Now Get Out of That (1981–1984),[19] The Adventure Game,[20] The Crystal Maze,[20] Fort Boyard, dan Knightmare.[21] Perlakuan serupa juga dapat ditemukan dalam program fiksi interaktif dan gim video bergenre escape the room.[22]
Inspirasi tambahan pada permainan kamar gelap berasal dari gim video yang bergenre escape the room. Gim dengan genre ini, yang mulanya dalam format Flash pada peramban web kemudian beralih menjadi aplikasi seluler menantang pemain untuk menemukan berbagai petunjuk dan benda dalam satu kamar.[6][23]
Konsep paling awal yang menyerupai wahana permainan kamar gelap modern adalah True Dungeon, yang diluncurkan perdana pada Juli 2003 di konvensi permainan Gen Con Indy di Indianapolis, Amerika Serikat.[24][25] True Dungeon diciptakan oleh Jeff Martin (True Adventures LLC). Permainan ini memiliki banyak unsur yang orang-orang hubungkan dengan permainan kamar gelap masa kini: permainan aksi langsung berbasis tim yang mendorong pemain mengeksplorasi sebuah kamar dan memecahkan teka-teki logika dan fisik secara kooperatif untuk meraih tujuan dalam waktu terbatas. True Dungeon “berfokus pada pemecahan masalah, kerja sama, dan taktik sementara menawarkan set permainan yang menggugah dan perlengkapan yang interaktif”.[26]
Empat tahun kemudian, wahana Real Escape Game (REG) yang berlokasi di Jepang dikembangkan oleh Takao Kato,[27] f yang berusia 35 tahun, dari sebuah perusahaan penerbitan yang bernama SCRAP, Co. pada 2007.[6] Perusahaan ini berbasis di Kyoto dan menerbitkan majalah gratis dengan nama yang sama. Selain Jepang, wahana Captivate Escape Rooms berdiri di Australia dan Singapura pada 2011.[28] Kazuya Iwata, yang merupakan teman Kato, memperkenalkan Real Escape Game ke San Francisco pada 2012.[29] Pada tahun berikutnya, Seattle Break, perusahaan permainan kamar gelap yang berbasis di Seattle, didirikan oleh Nate Martin dan merupakan perusahaan pertama di Amerika yang berlandaskan konsep permainan tersebut.[30] Wahana permainan kamar gelap di Jepang sebagian besar memiliki teka-teki logika, seperti barisan matematika atau kode warna, sama seperti gim video yang menginspirasinya.
Parapark, sebuah waralaba permainan kamar gelap Hungaria yang kemudian beroperasi di 20 lokasi di Eropa dan Australia, didirikan pada 2011 di Budapest.[6][31] Pendiri wahana tersebut, Attila Gyurkovics, mengeklaim bahwa ia tidak mengetahui permainan kamar gelap Jepang dan mendasarkan permainannya dengan teori flow yang dicetuskan Mihály Csíkszentmihályi. Selain itu, Attila juga mengaku bahwa pengalaman kerja yang ia miliki hanyalah bekerja sebagai pelatih kepribadian.[32] Berbeda dengan permainan kamar gelap Jepang, Parapark sebagian besar mengharuskan pemain menemukan kunci-kunci tersembunyi atau meraihnya di tempat yang tampak mustahil dicapai untuk maju.
Pada 2012, seorang profesor fisika asal Swiss, Gabriel Palacios, menciptakan permainan kamar gelap bernuansa ilmiah untuk para mahasiswanya. Permainan tersebut kemudian dibuka untuk umum di bawah nama AdventureRooms dan didistribusikan sebagai sebuah waralaba ke 20 negara. AdventureRooms memperkenalkan teka-teki ilmiah (misalnya sinar inframerah tersembunyi atau kode yang terpolarisasi) pada genre permainan ini.[33]
Hingga November 2019, diperkirakan terdapat lebih dari 50 ribu wahana permainan kamar gelap di seluruh dunia.[34] Operator wahana mendapati usaha ini sangat menguntungkan. Investasi di muka untuk wahana ini bisa dimulai dari US$7.000, sedangkan tim yang terdiri dari 4–8 orang dikenakan biaya US$20–30 per orang untuk bermain selama satu jam.[35] Dengan begitu, potensi pendapatan per tahun yang dihasilkan bisa mencapai ratusan ribu dolar.[36] Seiring berkembangnya industri permainan kamar gelap, biaya startup telah meningkat drastis dan begitu pula persaingan pasarnya. Beberapa pelanggan kini mengharapkan nilai produksi wahana yang lebih tinggi dan memperkirakan biaya pembuatan permainan dapat memakan US$50.000. Pasar di Britania Raya telah tumbuh sebesar 93%, 148%, 409%, dan 43% selama 4 tahun terakhir.[37]
South China Morning Post menilai permainan kamar gelap sangat populer di “kalangan pelajar dengan tingkat stres tinggi dan pegawai muda yang kelebihan jam kerja.”[38] Pemain terkadang merusak peralatan atau dekorasi di dalam area permainan.[39]
Pemanfaatan wahan permainan kamar gelap di Hong Kong untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari stresnya kondisi hidup di perkotaan telah diberitakan sejumlah jurnalis lokal.[40][41]
Permainan kamar gelap terdahulu sebagian besar meliputi teka-teki yang dapat dipecahkan dengan menuliskannya di kertas. Sebagian versi teka-teki hanya berbentuk digital atau hasil cetakan.[42] Seiring berkembangnya teknologi, permainan kamar gelap memperkenalkan pengunci mekanik yang dapat dibuka dengan kombinasi tertentu, kunci tersembunyi, dan kode dengan menggunakan benda-benda yang ada di dalam kamar-kamar. Gagasan-gagasan teka-teki ini telah ber-evolusi sehingga kini wahana memasang teknologi otomatis, dekorasi kamar yang imersif,[43] dan alur cerita yang lebih rumit agar teka-teki kamar gelap menjadi lebih interaktif dan pengalaman bermain yang tercipta menjadi lebih teatrikal dan beratmosfer kental.[3]
Bahkan, sebagian wahana mulai memasukkan unsur-unsur realitas virtual.
Insiden fatal pertama yang diketahui terjadi dalam permainan kamar gelap adalah kebakaran di Koszalin, Polandia pada 4 Januari 2019 yang menewaskan lima orang gadis berusia 15 tahun. Penyebab kebakaran tersebut adalah kebocoran gas pada mesin pemanas yang mengakibatkan korban mengalami keracunan karbon monoksida. Satu orang pegawai wahana mengalami luka bakar. Menurut keterangan layanan pemadam kebakaran, kegagalan kepala petugas dalam menyelamatkan korban disebabkan oleh kurangnya rute evakuasi yang efektif. Tidak lama setelah kejadian berlangsung, para pihak berwenang mengerahkan pemeriksaan keselamatan pada wahana-wahana permainan kamar gelap di seluruh Polandia. Alhasil, lebih dari 13 wahana berhenti beroperasi akibat tidak memenuhi standar keselamatan.[44][45]
Reno 911, yakni acara komedi Amerika, menayangkan episode yang berjudul Escape-O-Rama Room pada Agustus 2020.[46] Sebuah acara komedi Kanada, Schitt’s Creek menayangkan episode berunsurkan permainan kamar gelap yang berjudul The Bachelor Party pada Maret 2020. Konsep permainan ini juga dieksplorasi pada program-program televisi lain seperti It's Always Sunny in Philadelphia dan Harley Quinn.
Pada 2019, sebuah film horor psikologi Amerika, Escape Room dirilis ke bioskop. Sekuel film tersebut, yakni Escape Room:Tournament of Champions rilis pada 2021 setelah beberapa kali mengalami penundaan perilisan akibat pandemi COVID-19.[47] Kedua film tersebut bercerita tentang serangkaian kamar teka-teki misterius sekaligus mematikan yang menggali masa lalu traumatis para pemainnya. Escape Room memperoleh pendapatan kotor dari penayangan di seluruh dunia sebesar US$155,7 juta dengan anggaran produksi sebesar US$9 juta[48] sementara Tournament of Champions memperoleh pendapatan kotor sebesar US$51,8 juta.[49][50]
Pada Februari 2022, sebuah buku anak-anak yang berjudul Escape Room karya Christopher Edge dinobatkan sebagai “Children’s Book of the Week” oleh The Times.[51]
Austronesian honorific title for male Fijians of chiefly rank
Ratu ([ˈrɑːtu]) is an Austronesian title used by male Fijians of chiefly rank. An equivalent title, adi (pronounced [ˈandi]), is used by females of chiefly rank. In the Malay language, the title ratu is also the traditional honorific title to refer to the ruling king or queen in Javanese culture (though it has since been used in modern contexts to refer to both queen regnant and queen consort of any nation, e.g. "Ratu Elizabeth II" and "Ratu Camilla"). Thus in Java, a royal palace is called "keraton", constructed from the circumfix ke- -an and Ratu, to describe the residence of the ratu.
Ratu: A chiefly title for men used alone as a form of address, or in front of the chief's name, only in certain places The source of the Fijian title is Verata, and it has spread throughout Fiji during the past century, now applied to many local, minor chiefs as well as the major ones. The concept of his type of title is from Tonga. Strictly speaking, the title belongs only in Verata. In their time, Cakobau or Tanoa, his father, never themselves used the title of Ratu. It does not appear with Cakobau's name or any other chief's name in the Deed of Cession of 1874. (Exceptionally, in the 1850s, Ratu Mara Kapaiwai was one of the few who did use the word Ratu, though that may have been a name rather than a title.) It has been affixed to the names of Tana and Cakobau by later Fijians, retroactively. The Cakobau Memorial Church on Bau Island is now referred to as the Ratu Cakobau Church. Ratu may also be used as a personal first name or second name. The title may be acquired as part of a chiefly name, by a namesake. In such cases, it does not imply chiefly status. Adi is the female equivalent, sometimes heard as Yadi in Lau.
Ra is a prefix in many titles (ramasi, ramalo, rasau, ravunisa, ratu), and tu means simply "chief". The formal use of "ratu" as a title in a name (as in "Sir" in British tradition) was not introduced until after the cession of 1874. Until then, a chief would be known only by his birth name and his area-specific traditional title.
Regional variations include ro in Rewa and parts of Naitasiri and Tailevu, roko in parts of Naitasiri, Rewa and Lau (particularly the Moala group), ra in parts of Vanua Levu, particularly the province of Bua.
In all those places, it is used as a title preceding the person's name, much like "prince", "duke", "earl", "baron" or "lord".
The semantics, however, are a little different in Fijian although the name and title are usually reversed, for example:
In English, one would say His Royal Highness (Styling) Prince (address/title) Andrew (name), Duke of York (noble title).
In Fijian, one would say, Gone Turaga Na (Styling) Roko Tui Bau (noble title), Ratu (address/title) Joni Madraiwiwi (name).
The Fijian nobility consists of about seventy chiefs, each of whom descends from a family that has traditionally ruled a certain area. The chiefs are of differing rank, with some chiefs traditionally subordinate to other chiefs. The Vusaratu clan is regarded as the highest chiefly clan, with regards to the people of Bau until the rise of the Tui Kaba clan leader, who exiled all Vusaratu members. They are the heirs of Ratu Seru Epenisa Cakobau, the Vunivalu of Bau or Tui Levuka (Paramount Chief of Bau, on the eastern side of Viti Levu, Fiji's most populous island), He proclaimed himself "Tui Viti/King of Fiji" in 1871. (He was only recognised by the British and a few provinces of Viti Levu) He along with 12 high Chiefs subsequently ceded the islands to the United Kingdom in 1874.
Other prominent chiefly clans include the Vuanirewa (the traditional rulers of the Lau Islands) and the Ai So'ula (the traditional rulers of Vanua Levu).
During the colonial rule (1874–1970), the British kept Fiji's traditional chiefly structure and worked through it. They established what was to become the Great Council of Chiefs, originally an advisory body, but it grew into a powerful constitutional institution. Constitutionally, it functions as an electoral college to choose Fiji's president (a largely honorary position modelled on the British monarchy), the vice-president, and 14 of the 32 senators, members of Parliament's "upper house", which has a veto over most legislation. The 18 other senators are appointed by the Prime Minister (9), the Leader of the Opposition (8), and the Council of Rotuma (1); these appointees may, or may not, be of chiefly rank also. (The Senate was modelled on Britain's House of Lords, which consists of both hereditary and life peers.)
The presidency, vice-presidency, and fourteen senators are the only constitutional offices whose appointment is controlled by persons of chiefly rank. Chiefs in post-independence Fiji have always competed for parliamentary seats on an equal footing with commoners. In the years following independence, this favored the chiefly class, as the common people looked to them as their leaders and generally voted for them. For several elections, many ethnic Fijian members of the House, which is elected by universal suffrage, were of chiefly rank, but in recent elections, the discrepancy between chiefs and commoners is slowly narrowing, as commoners are becoming better educated and have begun to work their way into the power structure. The chiefs, however, retain enormous respect among the Fijian people. In times of crisis, such as the coups of 1987 and the third coup of 2000, the Great Council of Chiefs often stepped in to provide leadership when the modern political institutions have broken down.
Seperti ditulis pada artikel sebelumnya, Tafsir Jawa atas Kuasa dan Kekuasaan, pandangan kosmologi Jawa meyakini adanya kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik).
Menurut kepercayaan ini, keseluruhan tatanan sosial yang terdiri dari masyarakat luas di luar benteng kraton, para abdi dalem, dan lapisan kelompok para priyayi, serta berpuncak hirarkis pada diri raja, pada derajat tertentu merupakan representasi kosmis itu sendiri. Sekalipun dimaknai demikian, secara simultan tatanan sosial juga selalu berada di bawah pengaruh daya-daya kosmis alam semesta.
Dalam kerangka konsepsi Dewa-Raja atau Ratu-Binanthara inilah, kesanggupan seorang raja untuk mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci bisa atau tidaknya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Sedangkan bicara perihal daya-daya kosmis, selain didasarkan pada wahyu, daya kosmis lainnya ialah restu para leluhur tanah Jawa dan pusaka. Dalam konteks inilah, bicara restu leluhur tanah Jawa sudah tentu bukan hanya satu dan tunggal. Namun begitu, salah satu mitos yang diyakini kuat oleh masyarakat Jawa ialah Kanjeng Ratu Kidul.
Bagaimana menonjolnya mitos Kanjeng Ratu Kidul atau disingkat KRK, tanpa mengenal mitos ini orang tidak bakalan dapat memahami makna tarian sakral Bedhaya Ketawang; juga makna artefak bangunan Panggung Sanggabuawana di Kraton Surakarta; tak kecuali adanya folklore tentang jin bernama lampor maupun ritus sedekah laut yang lazim dilakukan masyarakat Jawa di sepanjang daerah pesisir Samudra Hindia.
Jejak-jejak Diskrusif
Merujuk artikel Robert Wessing yang berjudul “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, setidaknya ditemui beberapa versi sejarah. Menurut Wessing, sebagai seorang putri Sunda, umumnya KRK diceritakan sebagai puteri penguasa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, meskipun perihal siapa ayahnya ada beberapa nama mengemuka. Ada yang menyebutkan KRK ialah putri dari Prabu Mundingsari, lainnya menyebut nama Prabu Munding Wangi, atau juga disebut nama Prabu Siliwangi maupun Prabu Cakrabuwana.
Selain Pajajaran, cerita lain mengisahkan asal-usul KRK ialah kerajaan Galuh. Prabu Sindhula dari abad ke-13 merupakan ayahnya. Tempat asal lainnya yang disebutkan ialah kerajaan Kediri di Jawa Timur, saat diperintah oleh “Notradamus Jawa” yaitu yang legendaris, Raja Jayabaya; atau bahkan berasal dari kerajaan yang lebih tua, Kahuripan, diperintah oleh Raja Airlangga juga berlokasi di Jawa Timur. Namun demikian dari semua kisah itu, bagaimanapun kerajaan Pajajaran merupakan asal-usul KRK yang paling sering disebutkan.
Bagaimana kisah terjadinya transformasi dari seorang putri menjadi Dewi Samudra juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang puteri cantik yang, karena sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu, terjangkit penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang mendalam puteri itu lalu bermeditasi dan moksha.
Merujuk Poerbatjaraka dan Woodward, Wessing mencatat versi lain. Konon diceritakan, permaisuri raja Galuh melahirkan anak perempuan. Keanehan muncul, ia laiknya Yesus sejak usia bayi sudah dapat bicara dan berkata:
“Aku Ratu Ayu, akulah penguasa semua lelembut di Tanah Jawa. Istanaku berada di Laut Kidul.”
Raja Sidhula, yaitu raja Galuh yang telah lama meninggal, dikisahkan kemudian muncul memberi tanda dan bersabda bahwa puteri itu ialah cucunya. Untuk menjaga kesuciannya dia tidak akan pernah menikah hingga nanti tiba saatnya seorang raja Muslim muncul dan memerintah Jawa. Sosok inilah yang nanti jadi suaminya.
Menunggu dua abad lebih, hingga suatu saat datanglah Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram-Islam. Historigrafi Jawa yaitu Babad Tanah Jawa meriwayatkan, bagaimana Panembahan Senopati mula pertama bertemu dengan KRK. Pertemuan yang bermuara menjadi hubungan percintaan ini mengawali kisah, di mana KRK bukan hanya menjadi “istri” Panembahan Senopati, melainkan juga raja-raja Mataram-Islam penerusnya.
Awalnya dikisahkan dia pergi bertapa di Sungai Opak (bahasa Jawa: kungkum), lalu berenang (tapa ngeli) ke arah muara hingga mencapai Pantai Selatan. Sampai di sana Panembahan Senapati meneruskan bertapa dan memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Konon, berkat ketekunan bertapa membuat Samudera Hindia bergolak. Istana gaib tempat singgasana KRK menjadi porak-peranda karena kekuatan meditasi sang pemuda itu.
Walhasil, KRK pun muncul. Namun pucuk dicinta ulam tiba, KRK justru tertegun dan terpesona melihat seorang pemuda gagah tengah bermeditasi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana gaib Laut Selatan, KRK berjanji akan membantu Penembahan Senapati dan anak cucu keturunannya.
Menurut De Graaf, Ki Ageng Pemanahan tercatat meninggal di tahun 1583, dan sebagai gantinya ialah putranya Panembahan Senopati. Jika pembacaan De Graaf itu valid, menarik disimak pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkuasa pada 1940–1988, terhitung hampir berselang empat abad kemudian sejak Panembahan Senopati.
Dalam biografinya “Tahta untuk Rakyat” yang disusun oleh Atmakusumah (editor), ketika diwawancarai dan ditanya apakah benar dia adalah "suami" dari KRK dan apakah pernah "berhubungan" dengannya, Sultan Hamengku Buwono IX menjawab:
“Menurut kepercayaan lama memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama beherapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.”
Ketimbang “istri”, pada anak cucu penerus Panembahan Senapati setelah memasuki abad ke-20, posisi KRK tampaknya lebih berfungsi sebagai pepunden atau pamomong, atau sebutlah itu leluhur. Demikianlah catatan Jhon Pemberton dalam bukunya On The Subject of Java perihal cerita popular di Solo. Masyarakat Solo beranggapan raja sebagai “suami” KRK hanya sampai masa Paku Buwono IX.
Konon, diceritakan Paku Buwono X suatu ketika tengah naik ke Panggung Sanggabuwono. Tempat ini merupakan ruang pertemuan antara KRK dan Susuhunan. Di dalam bilik itu disediakan kursi dan pakaian serta sesaji untuk KRK. Diceritakan suatu saat PB X terpeleset saat menaiki tangga bangunan itu, dan KRK berucap kaget: “….Ooo, kepiye ngger!?” (Ooo, bagaimana kau nak!?). Nah, gara-gara dipanggil “ngger” itulah, Paku Buwono X tak pernah lagi dianggap sebagai “suami” KRK.
Pemberton juga memiliki catatan lain yang menarik. Paku Buwono yang memerintah pada 1823--1830, seperti diketahui dibuang ke Ambon oleh Pemerintah Hindia Belanda karena ketahuan mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825--1830). Pemberton mencatat, salah satu alasan kuat Belanda untuk membuang Susuhunan ini dikarenakan dia diketahui sering “berkunjung dan menemui” KRT hingga mendapat tuduhan tengah merencanakan sebuah makar.
Menarik juga dicermati, sekalipun keberadaan KRK katakanlah lekat dengan sejarah wangsa Mataram-Islam, ritus sedekah laut bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton. Melainkan, juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Ini artinya, masyarakat luas juga merasa memiliki KRK sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka.
Itulah sebabnya pelbagai ritus terhadap KRK nisbi sering dilakukan oleh orang Jawa. Dari yang sifatnya pribadi hingga yang sifatnya kolektif atau massal. Pewaris Mataram-Islam, sebutlah Kasultanan di Yogyakarta, hingga kini setahun sekali masih melaksanakan upacara labuhan.
Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di laut atau kawah gunung sebagai sesaji. Barang yang dilabuh, antara lain, seperangkat pakaian untuk KRK. Pakaian dan kebutuhan wanita itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan berbagai macam pakaian wanita beserta perlengkapan lain seperti param, ratus, minyak cendana, dan kepingan uang logam.
Bukan hanya ritus labuhan, kraton juga mengenal ritus sakral lain berupa pementasan Tari Bedhaya Ketawang. Menurut Kitab Wedhapradangga, pencipta tarian ini adalah Sultan Agung, raja paling agung yang berkuasa pada 1613--1645. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh KRK sendiri. Wajar saja, tarian ini bukan hanya semata sakral, tapi juga bahkan dianggap sebagai pusaka.
Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa juga ikut memberikan patokan-patokan saat menciptakan titi nada gending tarian tersebut. Titi nada gamelan itu disebut diberi nama Gending Ketawang Gedhe berlaras pelog pathet 5.
Tari ini melukiskan proses jatuh cintanya KRK pada Panembahan Sanapati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi. Untuk itu KRT memohon Sinuhun tidak tergesa pulang, namun Sinuhun tidak mau. Dia masih ingin mencapai “sangkan paran dumadi”, yaitu hakikat kemanunggalan diri dengan Tuhan.
Namun Panembahan Senapati berkenan memperistri KRT, bahkan janji hingga turun-temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di tanah Jawa akan mengikat janji dengan KRT pada detik kenaikan tahtanya (jumenengan nata). Karena itulah tarian sakral ini hanya ditarikan ketika pelantikan raja atau peringatan momen tersebut di setiap tahunnya.
Konon, saat tarian sakral ini ditarikan KRT selalu hadir dan turut menari di antara sembilan penari lainnya. Bahkan KRT jugalah yang konon mengajar secara langsung Tari Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan raja tersebut. (W-1)
Jalan Lintas Pantai Timur Sumatra (Way Kambas-Way Jepara), Labuhan Ratu (Lampung Timur), Lampung, Indonesia
Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.
Pushished in National Geographic magazine
Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.
Pushished in National Geographic magazine
Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.
Pushished in National Geographic magazine